Dua guru SMA di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Abdul Muis dan Rasnal, dipecat setelah dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung. Mereka dihukum terkait pungutan sebesar Rp20 ribu dari orang tua siswa untuk membantu 10 guru honorer yang mengalami kebuntuan gaji selama sepuluh bulan.
Kabar mengenai pemecatan ini muncul setelah rilis resmi dari Persatuan Guru Indonesia (PGRI) Luwu Utara. Ketua PGRI Luwu Utara, Ismaruddin, menyatakan bahwa keduanya telah dinyatakan PTDH (pemberhentian tidak dengan hormat), sebuah langkah yang menyedot perhatian banyak pihak.
Situasi ini memicu DPRD Sulsel untuk menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan pihak-pihak terkait termasuk kedua guru tersebut. Rapat tersebut berlangsung pada minggu lalu dan bertujuan untuk menggali penjelasan mengenai alasan di balik pungutan yang mengarah pada tindakan hukum.
Penjelasan dan Alasan di Balik Pungutan Dana oleh Guru
Dalam rapat tersebut, Rasnal menjelaskan bahwa pungutan Rp20 ribu tersebut merupakan langkah untuk membantu 10 guru honorer yang belum menerima gaji. Ia menegaskan bahwa tidak ada unsur paksaan dalam pengumpulan dana tersebut.
Kasus ini sendiri bermula pada tahun 2018, ketika Rasnal menjabat sebagai Kepala SMA Negeri 1 Luwu Utara. Saat itu, ia mengusulkan agar orang tua siswa berpartisipasi dalam patungan demi kesejahteraan para guru honorer.
Tindak lanjut dari inisiatif tersebut terlihat ketika Rasnal dan Abdul Muis mengenalkan ide ini kepada Komite Sekolah. Usulan tersebut diterima baik oleh orang tua siswa dan disepakati sebagai iuran sukarela setiap bulan.
Rasnal menyebutkan dalam rapat bahwa total anggaran untuk membayar gaji para guru honorer adalah sekitar Rp16 juta per bulan. Setelah diskusi, hasil perhitungan untuk iuran per anak sekitar Rp17.300, namun beberapa orang tua menyepakati angka Rp20.000 untuk kemudahan transaksi.
Proses tersebut berlanjut dengan pengaturan subsidi silang, di mana orang tua yang lebih mampu membantu orang tua yang kurang beruntung. Konsep ini didukung oleh semua peserta rapat, yang merasa bahwa iuran tersebut wajar dan untuk tujuan yang baik.
Proses Hukum dan Perkembangan Kasus yang Menghebohkan
Sejak usulan tersebut disampaikan, ternyata ada pihak yang merasa tidak setuju. Salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melaporkan dua guru tersebut ke Polres Luwu Utara dengan tuduhan tindak pidana korupsi. Penyelidikan pun dimulai dan status tersangka dijatuhkan kepada Rasnal dan Abdul Muis.
Pada fase ini, berkas perkara beberapa kali dikembalikan oleh jaksa karena dianggap kurang bukti untuk menyatakan adanya gratifikasi. Masyarakat mulai mempertanyakan sumber tuduhan tersebut dan kejelasan proses hukum yang diambil.
Ketika kasus masuk ke meja hijau, pengadilan membebaskan dua guru tersebut, namun keputusan ini tidak berlangsung lama. Jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, yang berujung pada keputusan mengubah vonis.
Majelis hakim agung menjatuhkan hukuman satu tahun penjara kepada keduanya. Hal ini menjadi berita buruk bagi banyak pihak yang menganggap tindakan ini sebagai pengorbanan yang tidak sepadan.
Supri Balantja, mantan anggota komite SMAN 1 Luwu Utara, mengungkapkan rasa keprihatinannya mengenai keputusan tersebut. Ia menilai bahwa bersalahnya para guru tidak sebanding dengan niat membantu pendidikan yang telah mereka lakukan.
Reaksi Masyarakat dan Tindakan PGRI Luwu Utara
PGRI Luwu Utara, melalui Ketua Ismaruddin, menyatakan bahwa ada prosedur yang salah dalam pemecatan ini. Menurutnya, seharusnya kedua guru tersebut mendapatkan pembinaan sebelum mengambil langkah pemecatan.
Ismaruddin menilai proses hukum yang dihadapi guru-guru itu jelas mengusik rasa keadilan. Menyusul hal tersebut, mereka berencana meminta pengampunan kepada Presiden Republik Indonesia dengan harapan tindakan tersebut dapat mengembalikan hak dan martabat keduanya.
Di sisi lain, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan Iqbal Nadjamuddin menegaskan bahwa seluruh proses pemecatan adalah konformitas terhadap hukum yang berlaku. Menurutnya, pemecatan ini merupakan dampak dari kasus hukum pidana yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Aturan mengenai pemecatan ini merujuk pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2023 dan PP Nomor 11 Tahun 2017. Ia menekankan bahwa pemprov hanya melaksanakan ketentuan yang ada serta tidak memiliki pilihan lain.
Sementara itu, situasi ini menimbulkan berbagai diskusi di kalangan masyarakat mengenai peran guru dan tantangan yang mereka hadapi dalam menjalankan tugas mereka. Banyak yang merasa bahwa guru seharusnya diperlakukan dengan lebih adil, terutama ketika tujuannya adalah untuk mencerdaskan generasi penerus.
