Mediasi gugatan perdata sebesar Rp125 triliun terhadap Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka mengalami penundaan hingga Senin, 6 Oktober 2025. Penundaan tersebut disebabkan oleh ketidakhadiran Gibran dalam agenda mediasi yang dijadwalkan hari ini.
Dalam proses tersebut, penggugat yang diwakili oleh Subhan menginginkan penerapan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2016 yang mengharuskan kehadiran prinsipal dalam mediasi. Absen dari sidang, Gibran menjadi sorotan dalam kasus yang mengundang perhatian publik ini.
Subhan, selaku penggugat, menjelaskan bahwa alasan ketidakhadiran Gibran sangat beragam, mulai dari alasan kesehatan hingga tugas negara. Menurutnya, hal ini adalah bagian dari proses hukum yang harus diikuti untuk mencapai penyelesaian yang adil.
Alasan Penundaan Mediasi dan Tindakan Selanjutnya
Perlu dicatat bahwa ketidakhadiran Gibran mengakibatkan mediator memutuskan untuk menunda proses mediasi hingga pihak-pihak yang bersangkutan dapat hadir. Subhan menyatakan, “Mediator melakukan ini untuk memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dapat berpartisipasi secara aktif dalam proses mediasi,” ujarnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Subhan mencatat bahwa akan ada proposal perdamaian yang harus disiapkan oleh penggugat menjelang pertemuan selanjutnya. Hal ini diharapkan menjadi langkah awal untuk mencapai kesepakatan yang bisa diterima oleh kedua belah pihak.
Dari sisi hukum, Gibran dan pengacaranya Dadang Herli Saputra memahami bahwa kehadiran prinsipal sangat penting. Meskipun demikian, mereka juga menegaskan bahwa ada syarat yang bisa mengesampingkan kewajiban tersebut, yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam pertemuan mendatang.
Permohonan Penggugat dan Tuntutan Dalam Kasus Ini
Dalam tuntutan hukum yang diajukan, Subhan memohon agar majelis hakim dapat menyatakan bahwa Gibran tidak sah menjabat sebagai Wakil Presiden untuk periode 2024-2029. Terkait dengan hal ini, tuduhan utama adalah bahwa Gibran tidak memenuhi syarat pendidikan yang diatur dalam perundang-undangan yang berlaku.
Tuduhan mengenai kelayakan pendidikan ini menjadi titik sorotan yang menarik perhatian masyarakat, terutama mengingat posisi Gibran sebagai putra sulung Presiden Joko Widodo. Pertanyaan mengenai kelayakan seseorang untuk menjabat dalam posisi tinggi pemerintahan sering kali menjadi isu yang diperdebatkan secara luas di masyarakat.
Subhan juga meminta agar Gibran serta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dikenakan denda sebesar Rp125 triliun, yang diusulkan untuk disetorkan ke kas negara dan dialokasikan kepada rakyat. Ini menunjukkan bahwa isu ini tidak hanya bersifat personal, tetapi juga menyangkut kepentingan publik yang lebih luas.
Respon Pihak Terkait terhadap Kasus Ini
Pihak pengacara Gibran, Dadang Herli Saputra, menyatakan bahwa mereka siap memberikan tanggapan terhadap argumen yang diajukan oleh pihak penggugat. Menurutnya, setiap langkah hukum yang diambil harus dihadapi dengan kesiapan dan kejelasan dari sisi hukum.
Dalam konteks hukum yang lebih luas, kasus ini mencerminkan dinamika perdebatan mengenai kelayakan calon pemimpin di Indonesia. Ketidakpastian tentang pendidikan dan latar belakang calon pemimpin menjadi pokok permasalahan yang harus ditangani dengan hati-hati oleh lembaga yang berwenang.
Dalam proses mediasi mendatang, pengacara Gibran berharap agar semua pihak dapat mengambil sikap kooperatif. Ini bisa menjadi batu loncatan untuk menyelesaikan masalah yang ada dengan cara yang lebih konstruktif dan menguntungkan semua pihak.