Di tengah gelombang demonstrasi yang melanda Indonesia, sebuah kasus penangkapan aktivis asal Yogyakarta, Muhammad Fakhrurrozi, atau yang akrab disapa Paul, menimbulkan berbagai reaksi dari berbagai kalangan. Penangkapan ini rupanya mengundang perhatian dari sejumlah tokoh, termasuk Rektor Universitas Islam Indonesia, Fathul Fahid, dan Ketua PP Muhammadiyah bidang Hukum, Busyro Muqqodas.
Pihak-pihak ini melangkah maju dengan menawarkan diri menjadi penjamin penangguhan penahanan bagi Paul, yang saat ini sedang ditahan oleh Polda Jawa Timur. Mereka berpendapat bahwa penangkapan ini merupakan cerminan dari proses hukum yang tidak transparan dan bahkan cenderung nonprosedural.
Sikap yang diambil oleh Fathul dan Busyro menunjukkan kepedulian terhadap kondisi kebebasan berekspresi di Indonesia. Pengajuan penjamin ini bukan hanya soal satu individu, tetapi menyangkut hak dasar setiap warga negara untuk menyuarakan pendapat.
Pentingnya Kebebasan Berpendapat dalam Demokrasi
Fathul Fahid menegaskan bahwa dalam sebuah negara yang menganut prinsip demokrasi, perbedaan pandangan adalah hal yang sangat wajar dan seharusnya dilindungi. Menurutnya, kritik terhadap pemerintah adalah salah satu tanda kesehatan demokrasi, bukannya ancaman terhadapnya.
“Harapan publik semakin terbatas ketika institusi yang seharusnya menjaga keseimbangan kebijakan pemerintah cenderung melemah,” tuturnya. Hal ini menunjukkan bahwa ada kekhawatiran yang mendalam mengenai ruang bagi masyarakat sipil untuk bersuara.
Fathul juga mengingatkan bahwa banyak aktivis yang melawan, bukan karena ingin melawan negara, tetapi karena cinta kepada bangasa dan cita-cita yang lebih baik. Dia percaya bahwa masyarakat yang berani menyatakan pendapat adalah refleksi dari sebuah bangsa yang sehat.
Risiko bagi Aktivis dan Masyarakat Sipil
Dalam pandangan Fathul, penangkapan Paul mencerminkan ancaman yang lebih luas terhadap aktivisme di Indonesia. Dia khawatir bahwa jika intimidasi semacam ini berlanjut, akan ada banyak aktivis lain yang memilih untuk tetap diam daripada mengambil risiko.
“Ruang dialog yang konstruktif akan segera tertutup jika pemerintah terus memandang aktivis sebagai musuh,” tegasnya. Dalam situasi seperti ini, masyarakat menjadi takut beraksi karena khawatir akan reperkusi dari penguasa.
Penting bagi pemerintah untuk menciptakan situasi di mana masyarakat sipil merasa aman untuk berbicara. Fathul mengingatkan bahwa tanpa kebebasan berpendapat, negara tidak lebih dari sekadar bentuk tanpa substansi.
Implicasi Hukum dan Proses Penahanan
Sejauh ini, belum ada pernyataan resmi dari pihak kepolisian mengenai permohonan penangguhan penahanan yang diajukan oleh tim pembela Paul. Hal ini menambah ketidakpastian mengenai proses hukum yang sedang berlangsung.
Polda Jawa Timur telah menetapkan Paul sebagai tersangka terkait dugaan penghasutan yang menyebabkan kericuhan dalam aksi demonstrasi beberapa bulan lalu. Tuduhan ini cukup serius dan melibatkan beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sementara itu, pihak LBH Surabaya menyebut penangkapan Paul didasari laporan yang tidak sesuai prosedur. Mereka menegaskan bahwa Paul tidak pernah menerima panggilan resmi sebelum ditangkap, sehingga penahanan ini melanggar hak-haknya sebagai warga negara.
Mendorong Kesadaran Masyarakat tentang Hak Asasi Manusia
Penting untuk menyadari bahwa setiap tindakan represif terhadap aktivis dapat mengurangi kualitas demokrasi di Indonesia. Fathul mengingatkan bahwa tanpa keberanian masyarakat untuk bersuara, negara potensial terjerumus ke dalam keadaan represif.
Kasus ini juga menegaskan perlunya kesadaran kolektif mengenai hak asasi manusia di masyarakat. Masyarakat perlu mengetahui bahwa hak untuk berbicara dan menyuarakan pendapat adalah hak yang harus dijaga dan diperjuangkan.
Dengan menyoroti isu ini, diharapkan masyarakat dapat lebih proaktif dalam mempertahankan kebebasan berpendapat dan mendukung para aktivis yang teraniaya. Pengetahuan dan kesadaran tentang hak-hak ini merupakan kunci untuk mendorong perubahan yang positif di masyarakat.