Sejumlah organisasi yang tergabung dalam Koalisi Sipil untuk Reformasi Keamanan mengajukan tuntutan penting untuk merevisi peradilan militer. Hal ini merupakan respons terhadap banyaknya vonis ringan yang diterima oleh anggota tentara, khususnya dalam kasus penganiayaan yang berujung pada kematian. Pengadilan yang dirasa tidak memberikan keadilan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan publik.
Vonis ringan yang terjadi dalam beberapa kasus menonjol, seperti penembakan seorang bos rental mobil di Jakarta dan penganiayaan terhadap seorang siswa SMP di Medan, menunjukkan adanya masalah mendasar dalam sistem peradilan. Proses hukum yang dialami oleh para pelaku di peradilan militer tampak dikelilingi oleh praktik impunitas yang mencolok.
Direktur YLBHI, Muhammad Isnur, menekankan bahwa rangkaian putusan yang ringan ini mencerminkan lemahnya supremasi hukum di Indonesia. Kejadian ini menggambarkan bahwa setelah lebih dari dua dekade reformasi pasca 1998, banyak haljustru masih stagnan.
Peradilan Militer dan Keberlangsungan Praktik Impunitas
Isnur menjelaskan bahwa vonis yang rendah terhadap anggota TNI menunjukkan pola yang konsisten. Dalam peradilan militer, proses hukum terkesan lebih tertutup, dan perlakuan tidak setara terhadap pelaku menjadi hal yang sering terjadi.
Ia menyatakan bahwa hukum seakan tunduk pada prestise militer, yang berujung pada hilangnya keadilan bagi korban. Masalah yang dihadapi ini tidak hanya berdampak pada kepercayaan publik, tetapi juga menciptakan rasa ketidakadilan yang mendalam di masyarakat.
Menurut Isnur, perlunya revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menjadi sangat mendesak. Tanpa adanya perubahan, praktik impunitas hanya akan terus berulang dan dapat memicu pelanggaran yang lebih serius di masa depan.
Kasus-kasus Menonjol yang Menggugah Publik
Beberapa contoh kasus tersebut menunjukkan betapa lemahnya penegakan hukum ketika menyangkut anggota militer. Kasus penembakan bos rental, di mana dua mantan prajurit TNI AL dihukum lebih ringan dibandingkan kejahatan yang mereka lakukan, menjadi sorotan utama.
Dalam kasus ini, kedua pelaku awalnya terhindar dari pidana seumur hidup, hanya dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Meskipun ada tambahan sanksi pemecatan dari dinas militer, penghukuman ini tetap dinilai belum sebanding dengan kesalahan yang dilakukan.
Kasus lainnya juga tidak kalah mencolok, di mana seorang serda yang terbukti bersalah dalam penganiayaan hingga menyebabkan kematian seorang pelajar hanya dijatuhkan hukuman 10 bulan penjara. Penghukuman ini dinilai mencederai rasa keadilan masyarakat.
Pentingnya Reformasi Sistem Hukum dan Pengawasan
Usaha untuk merevisi undang-undang yang mengatur peradilan militer jelas menunjukkan kebutuhan mendesak untuk reformasi. Banyak organisasi, termasuk Amnesty International, telah bergabung dalam seruan ini, menuntut pengawasan yang lebih ketat terhadap tindakan anggota militer.
Reformasi ini juga bertujuan untuk memastikan bahwa seluruh tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI diadili di peradilan umum, bukan militer. Langkah ini penting untuk mengembalikan wibawa hukum dan keadilan di mata rakyat.
Koalisi Sipil menekankan pentingnya transparansi dalam proses peradilan, sebagai bagian dari upaya membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang ada. Tanpa tindakan tegas, ilusi keadilan akan terus memudar dan masyarakat akan kehilangan keyakinan terhadap institusi penegak hukum.
